Maafkan Aku "Diriku"
Ibu, ...ternyata benar juga apa yang kaukata.
Kaubilang, dulu, aku hidup semacam lilin. Mengusahakan cahaya, sembari meleleh, lalu perlahan habis dan kesepian.
Aku seakan tak punya waktu untuk merasakan sunyi itu. Tak sempat berhenti untuk menanyai diri sendiri. "Apakah kamu baik-baik saja? "
Aku beruntung jika waktu yang telah ditandai ini menjadi separuh perjalanan sejarahku di muka bumi.
Membayangkan, jika setengah abad lagi aku masih hidup dan menjalani apa yang hari ini kusebut sebagai masa depan.
Ketika itu, mungkin hidupku semakin sepi.
Namun semoga pada saat itu tiba, adik-adik telah berbuat sesuatu dan melahirkan generasi penerusmu yang luar biasa.
Ibu, sepertinya aku baru menyadari. Aku belum pernah cukup mencintai diri sendiri. Sepertinya sejak lahir, hidupku tidak didesain dan dirancang untuk itu.
Masa bertumbuhku terlalu banyak diserang rasa takut, rasa gelisah dan rasa bersalah.
Waktu menuaku tak dibersamai kebijaksanaan.
Begitu banyak cita-cita, tapi tak ada satupun yang mengenaiku.
Tak pernah merasa berhak untuk memiliki.
Jadi hari ini, ketika semua manusia memaklumi, aku hendak meminta maaf kepada diriku sendiri. kepada jiwaku yang selalu resah.
Maafkan aku diriku, sangat jarang memberimu waktu beristirahat. Sedikit sekali membiarkanmu rasakan lelah, terlebih berair mata.
Maafkan aku jiwaku, karena sering memaksamu untuk selalu tegak berdiri dan tak pernah mengajakmu diskusi tentang patah hati.
Itu mengeraskanmu dan mungkin membuat banyak orang keliru mengenali perangaimu.
Aku akan belajar untuk lebih mendengarkanmu, merasakan pahitmu. Sebab, masa tuamu kian mendekat. Rentang kewarasanmu akan semakin berkurang.
Aku ingin lebih sering berdua denganmu, diriku. Agar kita bisa berbincang akrab. Saling mencurahkan gelisah dan mimpi-mimpi.
Sehabis ini, semoga aku benar-benar lebih mampu mencintaimu.
Komentar
Posting Komentar